Jumat, 29 November 2013

Pawn


Kebodohan. Suatu hal yang terdeteksi sesaat setelah (atau bahkan semenit setelah atau kalau mau yang lebih bego lagi ya sedetik setelah) kita berbuat sesuatu. Sama seperti saat kamu makan rendang 5 menit sebelum waktu berbuka di bulan puasa, ya, rasanya seperti itu. Tidakkah kamu merasa bodoh? Apa alasanmu? Lupa? Lupa kemudian ingat lagi? Kamu pikir kemana perginya memori itu disaat kamu lupa akannya? Ya itu mungkin saraf bodoh kita sedang mengambil alih, menyembunyikan sebuah fakta dan sebuah peringatan bagi kita hanya untuk sesaat, tepat sebelum kita melakukan sesuatu, kemudian mengembalikannya lagi saat semua sudah terlanjur terjadi dan terucap.

Entah teori darimana itu, yang jelas itu semua yang terlintas di otakku. Biar. Biar saja semua itu terdengar gila dan tidak masuk akal, sampai suatu saat nanti teori ini akan muncul di sebuah buku mata pelajaran, tertulis tepat di bawah namaku.

Ok. Mungkin aku memang sudah benar-benar tidak waras.

Ketidakwarasan ini rupanya adalah sebuah dampak dari sebuah peristiwa yang terjadi hari ini. Sesuatu terjadi, dan aku merasa gila setelah melakukannya. Berangsur-angsur aku berpikir, mengapa aku jatuh di lubang yang sama? Jika dulu lubang itu berisi ular, apakah kali ini aku berharap ular itu akan berubah menjadi emas? Sejujurnya iya dan sekarang aku bingung mencari kepastian dari semua kekhawatiranku ini.

Apakah aku harus diam, pasrah, berserah, dan menunggu seseorang datang memutuskannya untukku? Lagi? Setelah menengok ke belakang, ternyata ide itu adalah ide yang buruk. Mungkin tidak seburuk itu, aku memang tersakiti di awal, tapi kemudian aku menemukan kebaikan darinya, meskipun terkadang masih tersakiti juga. Masih terdengar tidak adil bukan?

Seperti pion kayu usang yang berdiri di tengah papan hitam putih, berhadapan dengan Raja beserta ksatrianya, ragu akan langkah yang akan dipilih. Ke belakang tidak bisa, maju pun banyak risikonya. Apa? Apa yang bisa dilakukan? Butuh pemikiran matang untuk bisa maju, menerjang yang lebih kuat dengan segala risiko yang mungkin akan didapat.

Rabu, 20 November 2013

Tentang



Hal-hal yang udah biasa kita alami emang ngebikin kita terbiasa. Even the unusual one. Even the uncomfortable one. 

Mungkin awalnya emang kayak gak ada apa-apa, tapi ternyata lama-lama gak nyaman juga. Gimana bisa aku ngejalanin sisa-sisa masa SMA ku dengan keadaan yang kayak gini? Keadaan yang paling bisa bikin gak konsentrasi di kelas. Emang sih, aku udah belajar buat care less dan masa bodoh sama hal-hal yang emang gak pantes buat dipikirin. Eh, tapi kayaknya masih pantes deh buat dipikirin. Ya. Terserah aja. 

Kapan ya terakhir kali aku ketawa, ketawa yang bener-bener ketawa di kelas? Kapan ya? Hhmm....lupa. Atau emang sangking udah lama banget, makanya lupa? Kayaknya sih gitu.

Pura-pura itu sakit gak sih? Pura-pura itu enak gak sih? Enggak. Udah jelas kan? Apa enaknya terpaksa buat tersenyum, mengatakan "Gak apa-apa" ketika orang lain bertanya ada apa. Apa enaknya berdiri di pojok, sendirian, di antara orang-orang yang tertawa bahagia. 

"Kenapa kamu gak mau join?"

Karena ketika aku masuk, ketika aku memaksakan diriku untuk mengikuti, apakah akan mengubah segalanya? Perubahan memang butuh proses, tapi bukan ini caranya. Bukan ini caraku.

Banyak hal yang tidak aku ketahui, karena waktu yang cukup lama ini. Menyadari bahwa secara tidak langsung aku bukan lagi sebuah prioritas. 

Terabaikan. Dibuang. 

Aku...aku benci dua hal itu. Sangking bencinya, sekali saja aku diperlakukan seperti itu, yang aku lakukan hanyalah diam, diam; tak mengejar. Karena jika aku mengejar lalu aku dibuang lagi, diabaikan lagi, sebodoh itukah aku mau menyakiti diri sendiri berulang kali?
 

Jumat, 08 November 2013

A Not So Thoughtful Words

source: instagram

This shit was written during my Economy class. I was so bored and upset at that time so, yeah, this is it:

"Maybe there are a hundred of friends surrounding me; or maybe there are only 6, 7, 8 of them. But... I'm all alone. Yes, alone. I hate the silence. I hate being such a loner, but, do I have a choice? No? Well. 

Seatmate. Seat mate. The new and the old one; is a whole different thing, different person. It's like when you are eating an apple. You grab one and bite it, and it accidentally slipped from your hand and fall to the ground. Then you grab another, but when you bite it, it doesn't taste as sweet as before.

Isn't that...disappointing? 

It made me feel like escaping but, again, do I have a choice? Do I have a chance? School is like... 4 months left. 

And what's with those who says: 

You will never walk alone?

No shit, please. I do get enough".

Kamis, 07 November 2013

A Friend

source: instagram

Have you ever heard about an Angry at Friend poem? No? Well, this is some of the lines:

I need to figure myself out
I need time, I need space
But I hate being alone
I hate the silence
I hate your face


Is that too harsh? No, I thought. 


Sebenernya masih panjang kalo mau lengkap, tapi sepertinya hubungan kita gak segitunya banget, jadi ya aku ambil awalnya aja.

Teman. Kalian semua punya teman kan? Punya sahabat kan? Ya, obrolan ini emang basi banget tapi keadaan lagi memaksa aku buat ngomongin ini. Ketika kamu dikecewain sama salah satu teman/sahabat kamu, apa yang bisa kamu lakuin? Gak selamanya kita bisa negur, gak semua masalah yang kita dapet, bisa kita bicarain. Kadang kita cuma butuh diam. Iya, sekalipun kamu benci itu.

Perubahan dari diri kita, kadang gak kita sadari kalo orang lain belum menegur. Aku merasa fine, yah, mungkin not 'that' fine, tapi, yaaa, beginilah aku, ini hidupku. Masalah datang, masalah pergi, aku mana ada waktu buat berkaca, apa yang berubah dari aku selama ini? Sampai beberapa sahabat menegurku. Aku hanya bisa terheran, sejenak melamunkan segalanya. Apakah iya?

Tiga tahun yang lalu, aku mendapat masalah yang sama, sampai di titik dimana orang-orang disekitar merasa kasihan. Ah, sudah, gak usah bahas histori.

Jadi ya, what to do? Nothing. Perhaps.

Aku diam-diam belajar untuk tidak terlalu mempermasalahkan apa yang pernah aku 'beri' ke orang lain. Beri, bukan berarti materi. Mau mereka pas butuhnya doang mampir ya gak apa-apa lah, terserah. Tapi kalo gak bisa berempati dengan orang lain ya, duh, apa banget! Orang gak bisa dipaksa emang kalo masalah batin, tapi kita kan butuh itu, tolong aja deh, belajar pelan-pelan. Biar peka, biar sensitif-an dikit, biar gak kayak batu, keras. Tapi ya ada aja, orang yang peduli sama orang banyak, tapi giliran individu...blas.

Minggu, 03 November 2013

Halah...

entah apa hubungannya si burung hantu sama isi tulisan ini

Jancik. Cok. Fak. Anjing glonggongan sapi guling badak cula lima! 

Apa yang terjadi? Entahlah. Biarkan Firnanda mengumpat dalam diam. Biar saja jemarinya menari diatas layar touch screen, mengetikkan kata demi kata yang tak layak untuk dibaca.

Mungkin kalian akan berbicara tentang norma dan etika. Persetan dengan itu semua, tiap manusia punya hak untuk menjadi tidak sempurna, untuk menjadi buruk, untuk menjadi mengerikan. Tidak berani mengumpat? Takut dosa? Takut dicap tak beretika? Memang kau siapa? Manusia yang mengejar kesempurnaan? HAHA.

Sebenarnya apa yang terjadi? Banyak. Hanya saja aku butuh berlembar-lembar kertas 80 gr dengan font Times New Roman ukuran 10 margin standar, di print bolak balik, untuk menceritakannya. Susah bukan? Merepotkan bukan? Ya. Karena itu semuanya akan kusingkat dengan jajaran 'kata penuh makna' yang tertulis jelas di awal paragraf. 

Shit! Aku ngomong opo seh nggilani sok-sok an macak sastrawan padahal nilai bahasaku ajur. Eh yo gak seh...mboh wes.

Halah yo...yo ngono lah pokok e ya, aku ngelu iki aku bingung aku gak ngerti kudu lapo wes tak turu ae (ngerjakno tugas) wassalam!